Judul : Uhibbuka Fillah
Penulis : Ririn Rahayu
Astuti Ningrum
Penerbit : WahyuQolbu
Terbit : 2014
Tebal : 304 halaman
ISBN : 979-795-825-6
“Adik, cinta kita bagai
Laut Utara. Andai Kakak adalah ombak, Adik adalah pantai. Pantai yang selamanya
setia menunggu ombak datang menyapa. Jika Kakak adalah hujan, maka Adik adalah
pelangi. Pelangi tak senantiasa setia menunggu hujan reda untuk menampakkan
dirinya. Berjanjilah.” (halaman 3)
Siapa
sangka untaian janji yang diucapkan bocah SMP itu telah mampu memasung kesetiaan
seorang anak perempuan pada cinta yang sulit?
Ya, seperti itulah kiranya yang terjadi pada Aini. Ia masih
berharap akan janji Hasan untuk meminangnya suatu hari nanti (tanpa tahu dimana keberadaan Hasan sekarang). Bahkan setelah banyak tahun berlalu, tanpa
kabar apupun darinya. Hanya satu yang menjadi penguatnya, ia yakin lelaki
seshalih Hasan tidak akan mengabaikan janjinya.
Aini adalah adik kelas Hasan. Mereka sering berkirim surat untuk mengungkapkan kekaguman mereka pada sosok masing-masing meski takut akan dosa dan ketatnya peraturan di pesantren yang mereka tempati. Saat itu mereka memang mengenyam pendidikan di pesantren yang bersebelahan. Bahkan terkadang Aini mencuri pandangannya dengan mengintip ke bilik pesantren Hasan untuk mengobati kerinduannya akan sosok yang selalu menyita perhatiannya itu. Tetapi, ketika Hasan lulus SMP dan meninggalkan pesantren, maka tinggalah Aini yang harus tinggal dan menyelesaikan pendidikannya di Paciran, sebuah kota di Jawa Timur yang dinamai Bhumiku oleh Aini.
Perjalanan kesetiaan
cinta Aini terus berlanjut, membawanya pada sosok Dana, pria yang tetap begitu
tulus membantu Aini untuk menemukan cinta masa
lalunya. Dana sesungguhnya sangat mencintai Aini dan pernah mengungkapkan
perasaannya. Namun, Aini tidak mampu membalasnya karena hatinya masih terpasung kesetian cintanya terhadap Hasan. Dana
rela mencari Hasan tak lain hanya karena ingin melihat orang yang dikasihinya
bahagia.
Setelah melakukan
perjalanan penuh pergolakan batin untuk mengikhlaskan perasaannya, Dana
menemukan Hasan. Tetapi, itu tidak menjadikan permasalahan Aini selesai. Dana
harus rela bertambah sakitnya saat tahu jika Aini hanya akan mendapat luka
karena Hasan telah melamar perempuan bernama Atiqa dan mereka akan segera
melangsungkan pernikahan setelah Hasan diwisuda.
Kisah cinta ini
kemudian menjadi dilemma saat Hasan menyadari kesalahannya. Ia yang tidak
menyangka jika janji yang diucapkannya akan berdampak luar biasa untuk Aini. Ia
merasa sangat bersalah. Rasa cinta yang telah lama ia kemasi seolah membludak
ingin dibongkar kembali. Ia berniat
memperbaiki semuanya. Lantas bagaimana nasib Atiqa? Haruskah Hasan mengabaikan
janjinya lagi untuk perempuan lain? Bagaimana perasaan Aini yang mengetahui hal
ini? Dan, bagaimana nasib Dana yang semakin terluka? Mampukah mereka menggapai
kesucian cinta yang selalu mereka agungkan?
Mbak Ririn Rahayu Astuti Ningrum mengemasnya
dengan sentuhan yang sangat manis dalam novel ini. Dengan bahasa yang santun
dan puitis, Mbak Ririn mampu membawa Uhibbuka Fillah pada hakikat cinta
suci yang mengikhlaskn, mengajak kita
belajar menggali makna tentang cinta dan kepemilikannya. Bagaimana hakikat
cinta itu berasal dari Allah dan hanya dengan mendekatkan diri kepada-Nya, kita
mampu memantaskan diri pada kesucian cinta.
Awalnya, saya bingung dengan perkataan Dr. Sulaiman Al-Kumayi, M.Ag jika
novel ini bertutur jujur dan tanpa rekayasa, namun, setelah membacanya hanya
dengan satu hari, saya mengerti maknanya. Mbak Ririn menyajikan novel ini
dengan karakteristik tokoh yang kuat dan melenakan. Anda tidak akan membenci
Hasan yang telah menodai kesetiaan Aini dalam novel ini. Semuanya dibahas jelas
dan semakin menyadarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam berucap apalagi
mengenai sebuah janji.
Selain itu, Uhibbuka Fillah cocok untuk dijadikan cerminan kita
untuk belajar dan bermuhasabah dalam koridor yang religius. Novel ini diselipi
beberapa kisah inspiratif dari tokoh-tokoh islam seperti Ummu Sulaim binti
Milhan dan juga paduan ayat Al-Qur’an yang mendukung jalannya cerita. Jadi,
novel ini bukanlah penggalian makna tanpa dasar.
“Bukan kita yang memilih
takdir, tapi takdir yang memilih kita. Takdir bagaikan angin bagi seorang
pemanah. Kita harus selalu mencoba membidik dan melesatkannya pada saat yang
tepat. Demikianlah pesan Shalahudin Al Ayyubi….”
Petikan kalimat yang
ada dalam novel ini tidak hanya melulu tentang percintaan, tetapi, penggalian
makna tentang upaya pengikhlasan diri pada kodrat dan takdir. Demikianlah, saya
rasa novel ini sangat cocok untuk dibaca baik lelaki maupun perempuan karena di
di dalamnya, banyak sekali pengaplikasian kehidupan yang berlandaskan Al-Quran
dan ketentuan Allah… ^_^
Yuuuk… belajar dari
kisah ini dan bercermin untuk menggapai kesucian cinta. Karena cinta pada
dasarnya bukan keegoisan semata. Karena dasarnya cinta adalah kebahagiaan untuk
penikmatnya.