Karena Ayah ingin Dikalahkan Anaknya
Tulisan ini terinspirasi dari
kernet bus yang menceritakan anaknya.
Ayah anda yang seperti apa? Yang
nampak antusias dan menunjukan kebanggannya, acuh atau bahkan menganggap remeh
saat anda mendapatkan suatu kemajuan..
Tik... Tok..
Setiap ayah yang bertanggung
jawab pasti menyanyagi anaknya. Mereka bangga terhadap keberhasilan yang
diperoleh anaknya. Tetapi mereka tidak selalu bisa menunjukannya.
Mungkin tidak menjadi masalah
jika ayah nampak bahagia dengan apa yang kita peroleh. Tapi jika ayah nampak
acuh dan bahkan melontarkan perkataan yang terkesan meremehkan apa yang kita
raih, rasanya pasti sakit. Itu sih yang terkadang banyak menjadikan suatu
kesalahpahaman antara anak dan ayah. Anak yang merasa tidak pernah dihargai
oleh ayahnya.
Tapi, ketahuilah, terkadang ayah
melakukan itu bukan tanpa sebab. Tapi terkadang ia canggung karena merasa tidak
memfasilitasi anaknya hingga memperoleh prestasi tersebut. Kadang juga ayah
ingin jika anaknya tidak mudah puas atas apa yang telah diraih anaknya.
Sesungguhnya, harapan terbesar ayah adalah untuk dikalahkan anaknya.
Kenapa saya bicara demikian. Coba
selama ini, alasan yang membuat seorang suami bekerja begitu giat apa? Pasti
anak-istri kan? Kenapa anak lebih didahulukan dibanding istri? Karena anak
adalah harapan setiap orang tua dan demi anak jugalah mereka rela bekerja dari
pagi hingga petang, bahkan mengambil kerja tambahan demi memperoleh uang untuk
memfasilitasi kehidupan anak . Tapi terkadang kesalahannya terletak disini.
Anak tak jarang malah menyalahartikannya sebagai wujud ketidakperhatian ayah.
Seperti yang telah saya ucapkan
di awal postingan ini, jika tulisan saya kali ini terinspirasi dari seorang
kondektur bis. Ada hal menarik yang saya kira perlu untuk dibagikan. Waktu itu,
cuaca cukup mendung di pagi hari. Dan, seperti biasa saya harus menggunakan bus
untuk sampai di kampus, karena nyali saya yang ciut jika harus mengendarai
motor lagi. Pertama, kondektur itu menyebrangkan seorang Ibu ke arah berlawanan
dengan keberadaan si penumpang yang hendak naik *jujur ini langka sekali*
Lama... tidak ada yang menarik, hingga naiklah seorang anak kecil berkopiyah
dan menggunakan baju koko.
Kodektur dari bis yang saya
tumpangi nampak antusias untuk memulai pembicaraan. Ia menepuk bahu si anak
kecil itu, “Tong, (Otong = Panggilan sayang untuk anak kecil dalam bahasa
sunda) mondok tah? Mondok dimana? Kelas
baraha?” (Ikut pesantrenkah? Pesantren dimana?Kelas berapa?)
“Di xxxxx kelas 5” (saya lupa nama pondok pesantrennya)
“Anak si AA *menunjuk ke dirinya sendiri* oge mondok, saumuran
jeung otong, kelas 5.”
(Anak AA juga ikut pesantren, seumuran sama adek, kelas 5)
Kondektur itu menunjukan rasa bangganya dengan perkataan yang menggebu.
Supir Bis akhirnya ikut menimpali. “Enya tah? Dipasantrenkeun si
xxxx?” (Iyakah? Xxx *nama anak si kondektur itu* dipesantrenin?)
“Nya, atuh... lamun anak mah kudu beda jeung kolotna. Lamis sholeh
tur sukses, entong jiga bapakna. Nah, tong... makananya kabener dipondokna,
kabener sakolana, kashaleh. Kudu karunya kak Mimih jeung Bapa tos nyakolakeun
otong.”
(iyalah... anak sih harus beda sama orangtuanya. Supaya sukses dan
shaleh, tidak seperti bapaknya. Nah, makannya, Nak... yang bener di
pesantrennya, yang bener sekolahnya, yang shaleh. Harus kasian sama Ibu dan
bapa yang udah nyekolahin)
Sungguh saya terenyuh mendenggar
ucapan kondektur itu. Mungkin terdengar biasa, namun saya langsung teringat
ayah saya. Ayah saya hampir tidak pernah mengucapkan kebanggannya untuk saya di
depan, tapi beberapa hari sebelumnya saya tahu jika ayah mengutarakan
kebanggannya terhadap saya kepada sepupu saya yang jauh, saya sampai kaget pas
denger cerita sepupu saya karena di depan saya, ayah nampak acuh meskipun jika
di telpon kita selalu memanggil ‘sayang’. Dan yang lebih membahagiakan lagi,
dia rentet menceritakan kebaikan saya dari jaman yang sampai saya sudah lupa
hingga sekarang. Mungkin ayah saya juga
menceritakannya dengan begitu menggebu seperti kondektur tadi? Saya mengira-ngira,
sampai tak terasa dengan tidak elitnya, air mata saya terjun bebas.
Jujur, saya sering mengeluhkan
kegilakerjaan ayah, contohnya bulan ini, ia diberikan libur sekitar 3 minggu
setelah tugas di Dumay, tapi apa yang ia lakukan? Sampai di rumah tiga hari
istirahat, ia memilih ikut bekerja di tempat yang lain sambil menunggu hari
libur. Dan saya yakin, itu semua bukan karena memang ayah yang pada dasarnya
nggak mau diem kalau di rumah juga. Saya yakin ayah saya pasti ingin
mendapatkan penghasilan yang lebih untuk memfasilitasi saya dan saudara-saudara
saya.
Masalah ketidakdekatan dengan
ayah belakangan ini, saya sering tukar cerita dengan teman. Rata-rata juga
sama, ayah mereka nampak kurang dekat dan nggak perhatian padahal sewaktu
kecil, ayah selalu terasa ada dan dekat, saya rasa itu alasannya, karena
semakin besar kita, maka semakin ingin pula orangtua memfasilitasi kita dengan
kehidupan yang lebih agar kesuksesan mudah terjamah oleh kita. Mungkin dengan gila
bekerja atau agak acuh karena permasalahan dan kekhawatiran yang tidak ia
sampaikan juga membuat kerenggangan itu ada.
Oh ya, kembali ke kondektur
tadi. Setelah mengelap air mata, saya
mendongak dan melihat kondektur itu. Anda tau penampilannya? Ada bekas tindikan
di kupingnya, pakaiannya agak seperti preman. Tapi apa? Dia tetap ingin anaknya
sukses. Bahkan ia ingin anaknya mengalahkan kesuksesannya. Dan, ia ingin
anaknya shaleh, bisa beranfaat untuk banyak orang.
Ini jadi mengingatkan saya kepada
ayah lagi. Sewaktu saya ingin memilih jurusan, Ayah bersikeras mempertahankan
cita-cita saya sebagai akuntan, tetapi ibu saya menyarankan memilih jurusan
keguruan karena kemudahannya nanti dalam membagi waktu antara keluarga dan
pekerjaan. Tau alasan ayah? Beliau mengatakan, sayang banget kan kamu bisa
sukses jadi akuntan, kerja enak di ruangan yang nyaman, profesi yang keren bla
bla bla... dan lagi... lagi... saya dapat menyimpulkan jika ayah ingin anaknya
untuk mengalahkannya. Ayah ingin anaknya lebih hebat daripadanya.
Tidak selalu dengan pujian yang mendorong, rasa cuek dan bahkan kadang seolah meremehkan apa yang telah kita raih itu adalah wujud dari rasa ingin dikalahkan.
10 komentar
setuju, mbak....
BalasHapussaya juga jadi inget kata2 almarhum ayah saya, yang kurang lebih seperti ini, "seorang anak harus lebih baik daripada orangtuanya..."
Iya. Kira-kira seperti itu, karena saking sayangnya orang tua hingga selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
HapusTerimakasih sudah berkunjung dan berbagi. Salam kenal ^_^
Subhanallah..
BalasHapusJadi teringat bapak dirumah..
Saya rasa, pantas jika kondektur ini, tetap akan terus berusaha yang terbaik untuk anaknya. Maka wajar meskipun agak preman beliau terus berusaha....
Salam...
Iya, terkadang hal kecil yang kita dapat dari pengalaman nggak sengaja itu berdampak luar biasa,
HapusSetiap orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, kondektur itu juga sepertinya nggak seburuk penapilannya sekarang, karena ia juga sudah tidak menggunakan anting lagi, dan mungkin itu mulai dirubahnya karena takut anaknya malu.
Salam balik. Terimakasih sudah berkunjung ^_^
setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya..
BalasHapushmmm... seorang ayah sepertinya memang sulit mengekspresikan perasaannya di depan anak nya sendiri. tapi di depan orang lain, pasti dengan bangganya dia menyebut nama anaknya.
ehem. kayaknya template baru nih. makin kece :D
Iya, Mbak Mia.
HapusSudah kerasa dan jadi tau, bisa jadi bahan renungan nanti kalo udah jadi istri juga. kkk~
Hi Hi Hi iya, duuuh tau aja, Mbak. Ini ada yang bantuin bikin template-nya kkk~
Terimakasih sudah berkunjung, Mbak.
Salam ^_^
Uwaaaa
BalasHapusaku envy sama tempaletmu deh~
suka bangeeeeeeeet :D
kalo aku lumayan deket sama ayahku~
soalnya ayahku itu orangnya terbuka banget, suka nunjukin perhatiannya. Misalnya aku waktu sakit yang ngurusin malah ayah bukan ibuku. kekekeke
Hi Hi Hi alhamdulillah ada yang menawarkan diri buat bantuin bikin template-ku kkk~
HapusTapi, konsep nama dan warna merah itu dia biarkan aku untuk yang memilih... kkk~ enak banget kan?
Iya, gitu Mbak... alhamdulillah... tapi kebanyakan ayah nggak kaya gitu u.u
sepertinya semua ayah seperti itu ,, jika kita mampu mengalahkannya sungguh bangganya dia
BalasHapusIya, makannya yuuuk sama-sama mengalahkan Ayah :)
BalasHapusAgar beliau bahagia :)
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komentar, kritik dan saran... mari berteman