Untuk Imam yang membawakan kehalalannya untukku
Surat ini kubuat diantara
rasa malu yang bertarung dengan antusias semangat. Tanpa alamat yang jelas tapi
satu kepastian, teruntuk jodohku yang menyerukan namaku lantang dalam
untaian kalimat ijab dan qabul. Imam dunia
dan -Insha Allah- Akhiratku, kelak.
Saat
ini aku tidak tahu apa yang menyebabkan nantinya kita bersama. Bahkan aku tidak
yakin jika aku telah jatuh cinta denganmu, pun juga dirimu terhadapku. Tetapi ,
aku yakin hanya ada dua alasan pasti yang mempertemukan kita dalam kebahagian
pernikahan ini. Karena kamu adalah imam sholeh yang Tuhan karuniakan untukku
dan karena niatan kita untuk membangun cinta bersama.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, jikalau benar saat itu kita melayarkan biduk
pernikahan tanpa rasa saling jatuh cinta, maka pasti kita akan sama-sama membangun
kokoh rasa itu dari niatan hingga nanti tumbuh membesar seiring perjalanan menua
bersama. Mungkin juga nanti tiba masanya saat kita mulai bosan dengan
rutinitas. Tetapi, Sayang..., aku yakin dengan kasihsayangmu, aku mampu untuk kembali
saling mengingatkan saat awal kita membangun cinta bersama. Hingga tiada
putusnya rasa itu. Dan, jangan salahkan aku jika nantinya kita sama-sama
kewalahan menghadapi rasa suci itu, Sayang. Mari kita redam bersama dengan
mengangungkan kecintaan kepada-Nya yang Maha Cinta.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, aku segan mengucapkan, “ aku mencintaimu karena
Allah.” Bukan karena alasannya tidak seperti itu, alasannya memang itu. Hanya
saja, aku tidak menutup kemungkinan jikalau aku mengagungi parasmu, mengaggumi
kepandaianmu, tergiur kemapananmu dan tergila karena kesempurnaan manusia yang
ada padamu. Sesungguhnya aku masih sering tersilaukan dengan dunia. Tetapi,
Sayang..., diatas alasan itu, aku yakin sekali satu pokok yang tak terbantahkan
yang menjadi keutamaanmu untukku. Karena aku ingin mencintai kamu yang
berpermatakan ahlaknya.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, aku tentu tidak bisa menjanjikan diri sebagai yang
terbaik untukmu karena jelas ketidaksempurnaanku ada dan membelenggu. Maka
sayang, ketika ijab dan qabul yang menandakan tanggungjawab
penuhmu atasku telah terucap, mari kita bersatu untuk menyempurnakan kehidupan
kita, meredam semua kekurangan yang ada. Jadi tolong, Sayang..., ajarkan dan
bimbing aku untuk menjadi yang sempurna sebagai bidadarimu juga sebagai makhluk
Tuhan yang berbakti. Dan, aku pun akan
berusaha mengingatkanmu akan hal yang sama.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, saat ini aku tidak tahu kapan kita dipertemukan.
Apakah sudah ataupun belum. Tetapi, aku sangat percaya jika Tuhan tengah
menyiapkan keimananmu agar mampu mengimami aku dan anak-anak kita kelak ke
SyurgaNya.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, aku tidak bisa menjamin tatapan dan senyumanku ini
dapat menyejukanmu yang telah letih. Aku tidak bisa menjamin masakanku akan
bisa memanjakan lidahmu seperti hidangan Ibumu. Tetapi, Sayang..., sekali lagi
kumohonkan padamu untuk membimbingku agar mampu menjadi yang bisa kau andalkan,
hingga kamu tanpa ragu lagi mendatangiku sebagai yang pertama untuk membagi
kisah suka dan dukamu. Hingga kamu tanpa ragu lagi menjadikanku sebagai sandaran
kebahagian.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, sesungguhnya saat ini aku sedang berusaha untuk
menjadi Khadijah dan Aisyah untukmu. Tetapi, Sayang..., jika sampai saatnya
nanti aku masih jauh dari keteladanan mereka, maka jangan ragu untuk bersabar,
Sayang. Karena aku akan selalu berusaha dan belajar. Dan, sungguh Sayang...,
tidak ada satu pun perasaan terbelenggu komitmen yang akan kubawa. Karena aku
yakin, jika bersamamu komitmen itu akan menjadi sumber kekuatan bukan gembok
yang membatasi kebebasan.
Duhai Imam yang
membawakan kehalalannya untukku, tidak mudah bagiku mengakrabkan diri dengan orang
lain. Tetapi, Sayang..., kata “jodoh” yang menyatukan kita itu..., aku
yakin akan juga mampu menguatkan kemampuanku untuk sama menganggap keluargamu
dan apa-apa yang ada padamu itu menjadi kepunyaan yang kukasihi juga.
Sebenarnya,
banyak hal yang ingin kuungkapkan padamu, Sayang. Termasuk kecangungganku untuk
membubuhkan panggilan “Sayang” untukmu yang kutekan erat agar terbiasa ketika
kehalalan itu tiba. Tetapi, Sayang..., Aku lebih menyukainya jika hal itu
kuungkapkan dengan lisanku, saat nanti kamu mendatangi ayahku demi kehadiranku
mengisi harimu.
Dari, perempuan yang
menunggu kehalalan darimu
10 komentar
Bagus sekali untaian kalimat dalam artikel ini.da harapan,doa dan makna di dalamnya
BalasHapusSalam hangat dari Surabaya
Terimakasih, Pak De :)
BalasHapusAamiin untuk doanya
Salam hangat juga dari Cirebon
dari kata katanya sudah mewakili harapan dan keinginan dari para wanita..
BalasHapusBagus,,, saya suka,,,
hi hi hi... terimakasih, selamat berlunjung ^_^
HapusBagus Tulisannya... :D
BalasHapusHi Hi Hi terimakasih :)
Hapussemoga segera halal ya, Mia :')
BalasHapusHi Hi Hi, Mbak Ila, gimana Allah ngasihnya aja deh, aku juga masih 18 tahun, eang sih nggak menutup kemungkinan nikah muda tapi, ya percaya sama Allah aja kkk~
Hapusmia, bagus, tapi aku kok ada yang bingung yak? pada paragfar ketiga... :D
BalasHapusBru kebaca komentnya setelah beberapa bulan #Plak :3
BalasHapusMaaf ya, Mbak... hi hi... biasa banyak notif dari blog lain :)
Oh iya yang itu agak rancu ya kata-katanya? Maksudnya aku sangsi untuk bilang aku cinta 'dia' karena Allah... bukan karena bener-bener nggak mencintainya karena Allah. Tetapi, karena takut aku lebih mencintai apa-apa yang ada di 'dia'nya :)
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komentar, kritik dan saran... mari berteman