Untuk Imam yang membawakan kehalalannya untukku

by - Selasa, Januari 14, 2014


Surat ini kubuat diantara rasa malu yang bertarung dengan antusias semangat. Tanpa alamat yang jelas tapi satu kepastian, teruntuk jodohku yang menyerukan namaku lantang dalam untaian kalimat ijab dan qabul. Imam dunia
 dan -Insha Allah- Akhiratku, kelak.


Saat ini aku tidak tahu apa yang menyebabkan nantinya kita bersama. Bahkan aku tidak yakin jika aku telah jatuh cinta denganmu, pun juga dirimu terhadapku. Tetapi , aku yakin hanya ada dua alasan pasti yang mempertemukan kita dalam kebahagian pernikahan ini. Karena kamu adalah imam sholeh yang Tuhan karuniakan untukku dan karena niatan kita untuk membangun cinta bersama.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, jikalau benar saat itu kita melayarkan biduk pernikahan tanpa rasa saling jatuh cinta, maka pasti kita akan sama-sama membangun kokoh rasa itu dari niatan hingga nanti tumbuh membesar seiring perjalanan menua bersama. Mungkin juga nanti tiba masanya saat kita mulai bosan dengan rutinitas. Tetapi, Sayang..., aku yakin dengan kasihsayangmu, aku mampu untuk kembali saling mengingatkan saat awal kita membangun cinta bersama. Hingga tiada putusnya rasa itu. Dan, jangan salahkan aku jika nantinya kita sama-sama kewalahan menghadapi rasa suci itu, Sayang. Mari kita redam bersama dengan mengangungkan kecintaan kepada-Nya yang Maha Cinta.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, aku segan mengucapkan, “ aku mencintaimu karena Allah.” Bukan karena alasannya tidak seperti itu, alasannya memang itu. Hanya saja, aku tidak menutup kemungkinan jikalau aku mengagungi parasmu, mengaggumi kepandaianmu, tergiur kemapananmu dan tergila karena kesempurnaan manusia yang ada padamu. Sesungguhnya aku masih sering tersilaukan dengan dunia. Tetapi, Sayang..., diatas alasan itu, aku yakin sekali satu pokok yang tak terbantahkan yang menjadi keutamaanmu untukku. Karena aku ingin mencintai kamu yang berpermatakan ahlaknya.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, aku tentu tidak bisa menjanjikan diri sebagai yang terbaik untukmu karena jelas ketidaksempurnaanku ada dan membelenggu. Maka sayang, ketika ijab dan qabul yang menandakan tanggungjawab penuhmu atasku telah terucap, mari kita bersatu untuk menyempurnakan kehidupan kita, meredam semua kekurangan yang ada. Jadi tolong, Sayang..., ajarkan dan bimbing aku untuk menjadi yang sempurna sebagai bidadarimu juga sebagai makhluk Tuhan yang berbakti. Dan,  aku pun akan berusaha mengingatkanmu akan hal yang sama.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, saat ini aku tidak tahu kapan kita dipertemukan. Apakah sudah ataupun belum. Tetapi, aku sangat percaya jika Tuhan tengah menyiapkan keimananmu agar mampu mengimami aku dan anak-anak kita kelak ke SyurgaNya.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, aku tidak bisa menjamin tatapan dan senyumanku ini dapat menyejukanmu yang telah letih. Aku tidak bisa menjamin masakanku akan bisa memanjakan lidahmu seperti hidangan Ibumu. Tetapi, Sayang..., sekali lagi kumohonkan padamu untuk membimbingku agar mampu menjadi yang bisa kau andalkan, hingga kamu tanpa ragu lagi mendatangiku sebagai yang pertama untuk membagi kisah suka dan dukamu. Hingga kamu tanpa ragu lagi menjadikanku sebagai sandaran kebahagian.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, sesungguhnya saat ini aku sedang berusaha untuk menjadi Khadijah dan Aisyah untukmu. Tetapi, Sayang..., jika sampai saatnya nanti aku masih jauh dari keteladanan mereka, maka jangan ragu untuk bersabar, Sayang. Karena aku akan selalu berusaha dan belajar. Dan, sungguh Sayang..., tidak ada satu pun perasaan terbelenggu komitmen yang akan kubawa. Karena aku yakin, jika bersamamu komitmen itu akan menjadi sumber kekuatan bukan gembok yang membatasi kebebasan.

Duhai Imam yang membawakan kehalalannya untukku, tidak mudah bagiku mengakrabkan diri dengan orang lain. Tetapi, Sayang..., kata “jodoh” yang menyatukan kita itu..., aku yakin akan juga mampu menguatkan kemampuanku untuk sama menganggap keluargamu dan apa-apa yang ada padamu itu menjadi kepunyaan yang kukasihi juga. 

Sebenarnya, banyak hal yang ingin kuungkapkan padamu, Sayang. Termasuk kecangungganku untuk membubuhkan panggilan “Sayang” untukmu yang kutekan erat agar terbiasa ketika kehalalan itu tiba. Tetapi, Sayang..., Aku lebih menyukainya jika hal itu kuungkapkan dengan lisanku, saat nanti kamu mendatangi ayahku demi kehadiranku mengisi harimu.


Dari, perempuan yang menunggu kehalalan darimu


You May Also Like

10 komentar

  1. Bagus sekali untaian kalimat dalam artikel ini.da harapan,doa dan makna di dalamnya
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. Terimakasih, Pak De :)
    Aamiin untuk doanya

    Salam hangat juga dari Cirebon

    BalasHapus
  3. dari kata katanya sudah mewakili harapan dan keinginan dari para wanita..
    Bagus,,, saya suka,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. hi hi hi... terimakasih, selamat berlunjung ^_^

      Hapus
  4. semoga segera halal ya, Mia :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Hi Hi, Mbak Ila, gimana Allah ngasihnya aja deh, aku juga masih 18 tahun, eang sih nggak menutup kemungkinan nikah muda tapi, ya percaya sama Allah aja kkk~

      Hapus
  5. mia, bagus, tapi aku kok ada yang bingung yak? pada paragfar ketiga... :D

    BalasHapus
  6. Bru kebaca komentnya setelah beberapa bulan #Plak :3

    Maaf ya, Mbak... hi hi... biasa banyak notif dari blog lain :)


    Oh iya yang itu agak rancu ya kata-katanya? Maksudnya aku sangsi untuk bilang aku cinta 'dia' karena Allah... bukan karena bener-bener nggak mencintainya karena Allah. Tetapi, karena takut aku lebih mencintai apa-apa yang ada di 'dia'nya :)

    BalasHapus

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komentar, kritik dan saran... mari berteman