Uhibbuka Fillah : Menggapai kesucian cinta

by - Jumat, Mei 30, 2014







Judul : Uhibbuka Fillah
Penulis : Ririn Rahayu Astuti Ningrum
Penerbit : WahyuQolbu
Terbit : 2014
Tebal : 304 halaman
ISBN : 979-795-825-6

“Adik, cinta kita bagai Laut Utara. Andai Kakak adalah ombak, Adik adalah pantai. Pantai yang selamanya setia menunggu ombak datang menyapa. Jika Kakak adalah hujan, maka Adik adalah pelangi. Pelangi tak senantiasa setia menunggu hujan reda untuk menampakkan dirinya. Berjanjilah.” (halaman 3)


Siapa sangka untaian janji yang diucapkan bocah SMP itu telah mampu memasung kesetiaan seorang anak perempuan pada cinta yang sulit?

Ya, seperti itulah kiranya yang terjadi pada Aini. Ia masih berharap akan janji Hasan untuk meminangnya suatu hari nanti (tanpa tahu dimana keberadaan Hasan sekarang). Bahkan setelah banyak tahun berlalu, tanpa kabar apupun darinya. Hanya satu yang menjadi penguatnya, ia yakin lelaki seshalih Hasan tidak akan mengabaikan janjinya.
 

Aini adalah adik kelas Hasan. Mereka sering berkirim surat untuk mengungkapkan kekaguman mereka pada sosok masing-masing meski takut akan dosa dan ketatnya peraturan di pesantren yang mereka tempati. Saat itu mereka memang mengenyam pendidikan di pesantren yang bersebelahan. Bahkan terkadang Aini mencuri pandangannya dengan mengintip ke bilik pesantren Hasan untuk mengobati kerinduannya akan sosok yang selalu menyita perhatiannya itu. Tetapi, ketika Hasan lulus SMP dan meninggalkan pesantren, maka tinggalah Aini yang harus tinggal dan menyelesaikan pendidikannya di Paciran, sebuah kota di Jawa Timur yang dinamai Bhumiku oleh Aini.

Perjalanan kesetiaan cinta Aini terus berlanjut, membawanya pada sosok Dana, pria yang tetap begitu tulus membantu Aini untuk menemukan cinta masa lalunya. Dana sesungguhnya sangat mencintai Aini dan pernah mengungkapkan perasaannya. Namun, Aini tidak mampu membalasnya karena hatinya masih  terpasung kesetian cintanya terhadap Hasan. Dana rela mencari Hasan tak lain hanya karena ingin melihat orang yang dikasihinya bahagia.

Setelah melakukan perjalanan penuh pergolakan batin untuk mengikhlaskan perasaannya, Dana menemukan Hasan. Tetapi, itu tidak menjadikan permasalahan Aini selesai. Dana harus rela bertambah sakitnya saat tahu jika Aini hanya akan mendapat luka karena Hasan telah melamar perempuan bernama Atiqa dan mereka akan segera melangsungkan pernikahan setelah Hasan diwisuda.


Kisah cinta ini kemudian menjadi dilemma saat Hasan menyadari kesalahannya. Ia yang tidak menyangka jika janji yang diucapkannya akan berdampak luar biasa untuk Aini. Ia merasa sangat bersalah. Rasa cinta yang telah lama ia kemasi seolah membludak ingin dibongkar kembali.  Ia berniat memperbaiki semuanya. Lantas bagaimana nasib Atiqa? Haruskah Hasan mengabaikan janjinya lagi untuk perempuan lain? Bagaimana perasaan Aini yang mengetahui hal ini? Dan, bagaimana nasib Dana yang semakin terluka? Mampukah mereka menggapai kesucian cinta yang selalu mereka agungkan?

 

Mbak Ririn Rahayu Astuti Ningrum mengemasnya dengan sentuhan yang sangat manis dalam novel ini. Dengan bahasa yang santun dan puitis, Mbak Ririn mampu membawa Uhibbuka Fillah pada hakikat cinta suci yang mengikhlaskn,  mengajak kita belajar menggali makna tentang cinta dan kepemilikannya. Bagaimana hakikat cinta itu berasal dari Allah dan hanya dengan mendekatkan diri kepada-Nya, kita mampu memantaskan diri pada kesucian cinta.

                            
Awalnya, saya bingung dengan perkataan Dr. Sulaiman Al-Kumayi, M.Ag jika novel ini bertutur jujur dan tanpa rekayasa, namun, setelah membacanya hanya dengan satu hari, saya mengerti maknanya. Mbak Ririn menyajikan novel ini dengan karakteristik tokoh yang kuat dan melenakan. Anda tidak akan membenci Hasan yang telah menodai kesetiaan Aini dalam novel ini. Semuanya dibahas jelas dan semakin menyadarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam berucap apalagi mengenai sebuah janji.

Selain itu, Uhibbuka Fillah cocok untuk dijadikan cerminan kita untuk belajar dan bermuhasabah dalam koridor yang religius. Novel ini diselipi beberapa kisah inspiratif dari tokoh-tokoh islam seperti Ummu Sulaim binti Milhan dan juga paduan ayat Al-Qur’an yang mendukung jalannya cerita. Jadi, novel ini bukanlah penggalian makna tanpa dasar.

“Bukan kita yang memilih takdir, tapi takdir yang memilih kita. Takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita harus selalu mencoba membidik dan melesatkannya pada saat yang tepat. Demikianlah pesan Shalahudin Al Ayyubi….”

Petikan kalimat yang ada dalam novel ini tidak hanya melulu tentang percintaan, tetapi, penggalian makna tentang upaya pengikhlasan diri pada kodrat dan takdir. Demikianlah, saya rasa novel ini sangat cocok untuk dibaca baik lelaki maupun perempuan karena di di dalamnya, banyak sekali pengaplikasian kehidupan yang berlandaskan Al-Quran dan ketentuan Allah… ^_^

Yuuuk… belajar dari kisah ini dan bercermin untuk menggapai kesucian cinta. Karena cinta pada dasarnya bukan keegoisan semata. Karena dasarnya cinta adalah kebahagiaan untuk penikmatnya.

You May Also Like

2 komentar

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komentar, kritik dan saran... mari berteman